Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang
bangun nenek moyang bangsa Indonesia
yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap
ilmu perbintangan alias astronomi.
Penelitian selama 2,5 tahun yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur,
Institut Teknologi Bandung, menunjukkan, stupa utama candi Buddha terbesar di
dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan
bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di
pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).
Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan
lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat
10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada
tingkat 1 hingga tingkat 6.
Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8, dan 9 secara berurutan adalah 32
stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama.
Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna
tertentu.
"Jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu
pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai
Pránatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa)," kata Ketua Tim
Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang.
Tim beranggotakan satu dosen dan empat mahasiswa Astronomi ITB, satu
mahasiswa Matematika ITB, dan seorang peneliti Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional. Temuan mereka dimuat dalam prosiding 7 International
Conference on Oriental Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010.
Bayangan lurus stupa saat Matahari berada di garis khatulistiwa (garis 0
pada grafik lintasan awal musim). Pada saat itu Matahari terbit tepat di titik
timur garis dan terbenam tepat di titik barat garis. Hasil ini menunjukkan
posisi candi Borobudur sesuai arah mata angin.
Posisi itu ditentukan nenek moyang kita ketika meletakkan fondasi candi tanpa
bantuan alat penentu posisi global (GPS).
Penelitian lebih lanjut adalah untuk melihat apakah posisi stupa atau
bayangan stupa memiliki hubungan dengan prediksi gerhana Matahari atau gerhana
Bulan. Konfigurasi situs megalitik umumnya memiliki kaitan dengan penentuan
waktu, baik kalender maupun prediksi gerhana.
Sejumlah relief
di Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam
penguasaan ilmu perbintangan.
Untuk mampu
mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan navigasi yang panduan utamanya adalah
bintang-bintang di langit.
Posisi bintang ini terlukis dalam relief bulatan-bulatan kecil pada
tingkat ke empat Borobudur di sisi Utara.
Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan
bulan sabit.
Salah satu bintang penunjuk adalah bintang Polaris. Sebelum tahun 800,
Polaris dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur.
Namun kini Polaris berada dibawah horizon karena gerak presesi (gerak Bumi pada
sumbunya sambil beredar mengelilingi Matahari) sehingga Bintang Utara tidak
mungkin lagi dilihat dari Nusantara.
Apabila penelitian lebih mendalam dapat membuktikan bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia
telah mampu membuat peta bintang dan penentuan musim serta waktu gerhana, maka
bangsa Maya bukan satu-satunya bangsa kuno yang menguasai ilmu perbintangan.
Sejarah dunia perlu ditulis ulang, dan nama bangsa Indonesia patut diperhitungkan
dalam peta sejarah dunia sebagai bangsa yang pernah mencapai kebudayaan yang
tinggi dalam ilmu astronomi.
Pentingnya rasi Ursa Mayor bagi masyarakat saat itu ditunjukkan oleh
gambar relief bulatan-bulatan kecil pada tingkat ke-4 Borobudur
di sisi utara. Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga
Matahari dan bulan sabit yang dipastikan simbol bulan.
Dari Bumi, Ursa Mayor terlihat sebagai tujuh bintang terang. Nama Dubhe
dan Merak berasal dari bahasa Arab. Dubhe dari frasa thahr al dubb al akbar
(punggung beruang besar), sedangkan Merak dari kata al marakk yang artinya
pinggang— karena posisi di pinggang beruang.
Irma menambahkan, selain Ursa Mayor, tujuh bulatan itu diduga sebagai
Pleiades (Tujuh Bidadari). Masyarakat Jawa mengenal kluster bintang terbuka ini
sebagai Lintang Kartika. Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta krttikã yang
menunjuk kluster bintang yang sama.
Kluster
(kumpulan) bintang ini populer di Jawa karena kemunculannya menjadi penanda
dimulainya waktu tanam.
Dugaan tujuh bulatan itu adalah Pleiades muncul karena hampir semua
bangsa memiliki kesan mendalam dengan kluster bintang ini. Bangsa Jepang
menyebutnya sebagai Subaru, sedangkan masyarakat Timur Tengah
menamainya Thuraya.
Namun, jika diamati dari Borobudur, posisi Tujuh Bidadari ini di dekat
arah timur benar saat terbit dan di dekat arah barat benar saat
terbenam. Posisi kluster ini tidak cocok dengan letak tujuh bulatan di
dinding utara Borobudur.
No comments:
Post a Comment
Nama : Vian Yulianto
kota tinggal : Yogyakarta
bersekolah : Univ. Terbuka jurusan Komunikasi